Sunday, November 18, 2018

Pemilu 2019 dan Penggunaan Sosial Media


PEMILU 2019 DAN PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL





Oleh:



M. Ramadhani Arafat

Kuni Qurota ‘Aini

Jadid Purwaka Aji

Penulisan artikel ilmiah ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh hoax di media sosial terhadap kepercayaan masyarakat Indonesia. Adapun latar belakang tulisan ini karena Indonesia pada tahun 2019 memasuki tahun politik. Kampanye yang semakin gencar dilakukan sebagai pengaruh dari keinginan untuk dipilih. Namun sayangnya kampanye bermacam-macam cara salah satunya dengan media sosial. Media sosial efektif sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran berbagai ide, termasuk isi kampanye media sosial, berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. Di Twitter, misalnya, hanya dengan men-twit, informasi tersebar luas ke seluruh follower, begitu seterusnya dengan cara kerja seperti multi-level marketing. Efektivitas media sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif. Karakteristik media sosial sendiri juga merupakan kekuatan. Media sosial adalah sarana untuk komunikasi di mana setiap individu saling memengaruhi. Setiap orang memiliki pengaruh ke sekelilingnya. Dengan demikian semua orang bebas dalam memberikan pandangan politik. Beredarnya berita bohong atau hoax juga semakin banyak dalam media sosial. Hal tersebut berpengaruh negatif, karena dapat menyebabkan persetuan, mudah di adu domba , serta kekacauan politik. Hal tersebut membuat kami ingin mengulas dampak media sosial dalam pemilu 2019 yang memiliki dampak yang besar ini.

                                               

                                  Pendahuluan

Latar Belakang

Politik merupakan jalan pintas menuju sebuah kekuasaan. Karena setiap orang yang ingin menduduki sebuah jabatan pasti mengenal politik. Politik adalah seni dan ilmu meraih kekuasaan konstitusional maupun non konstitusiona. Di samping itu politik dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan dalam suatu negara.

Jalannya perpolitikan di Indonesia berjalan secara dinamis dan selalu ada hal baru. Peran partai politik tidak hanya sebagai saluran aspirasi masyarakat. Tetapi sebagai jalan dalam legislatif. Presiden sebelum menjabat sebagai presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik yang harus memperoleh sekurang-kurangnya 5 % suara secara normal atau 3 % kursi Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada tahun 2019 ini calon presiden ada 2 yaitu Joko Widodo dan Prabowo. Mereka diangkat menjadi calon presidenoleh partai-partai yang mengusungnya. Saat ini dalam masa kampanye calon presiden di Indonesia. Banyak hal yang dilakukan oleh masing-masing calon prwesiden maupun tim suksesnya.

Berbagai cara kampanye yang dilakukan oleh calon presiden maupun para pendukungnya. Antara lain blusukan, mendatangi wilayah tertentu dan sebagainya.  Beragam kampanye dilakukan. Ada yang berkampanye secara langsung maupun secara tak langsung. Secara langsung misalkan mengadakan konser music, pidato, blusukan, mendatagi wilayah tertentu maupun secara tidak langsung dengan media sosial.

Pada masa ini media sosial cenderung diminati karena pengaruhnya yang luar biasa efektifnya. Jika kampanye langsung hanya orang – orang yang hadir saja yang dapat melihat. Media sosial dapat dilihat oleh semua orang.

Saat ini media sosial terdapat kampanye yang bersih dan kampanye kotor. Tak jarang pula terdapat hoax yang meresahkan masyarakat. Kaitannyadengan pemilu, hoax dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik.

Pengaruhnya sangat besar bagi panggung politik di Indonesia. Masyarakat dengan mudah percaya dengan hal yang berbau hoax dan kemudian saling menjadi korban adu domba. Seharusnya kita memilah dan memilih mana yang hoax dan mana yang benar-benar berita. Agar pemilu 2019 damai dan lancar.



Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang ditulis, kami memberikan identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan sebagai berikut:

·         Maraknya kasus hoax yang terjadi akhir-akhir ini,

·         Pengaruh hoax terhadap pandangan masyarakat kepada calon presiden.

·         Ada banyak jalur lain untuk menaikkan nama calon presiden tanpa hoax, agar Indonesia lebih beradap dan maju.

Rumusan Masalah

·         Seberapa pengaruhkah media sosial dalam pemilu 2019?

·         Bagaimana hubungan hoax terhadap pemilu 2019?

·         Bagaimana cara menciptakan pemilu yang bersih dari hoax?

Manfaat

Manfaat teoritis:

1.    Bagi calon presiden dan tim sukses, diharapkan dapat meningkatkan kualitas daripada kampanye semata.

2.    Bagi masyarakat,  diharapkan media sosial berperan aktif dalam penyebaran konten-konten positif pemilu, bukan sebaliknya.

Manfaat praktis:

Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam bermedia sosial yang baik dan cerdas.



Teori

Permana dalam Pradhanawati (2005: 85) kata kunci dari pemilu langsung oleh rakyat adalah “kedaulatan rakyat”. Dengan demikian, reputasi  demokrasi tidak diragukan lagi adalah pemaknaan yang sesungguhnya dari kedaulatan rakyat itu sendiri.

Schumpeter dalam Sorensen (2003: 14) merumuskan pengertian demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Pengertian demokrasi menunjukan bahwa keikutsertaan rakyat merupakan kunci utama dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokrasi. Keikutsertaan rakyat dalam sistem pemerintahan bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat itu sendiri maupun melalui perwakilan hal tersebut dapat terwujud dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum di Negara Indonesia. 

Mayo dalam Kristiadi (2006: 117) memberikan definisi demokrasi sebagai berikut :  

Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.  

Di Indonesia, berdasarkan data We Are Social dan Hootsuite (2018) disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia sebesar 132 juta orang.



                                         Isi

Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilihan umum (Pemilu) menurut Haris (2006: 10) merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat, yang bersifat langsung, terbuka, masal, yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.  Pasal 1 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilihan umum disebutkan dan dijelaskan tentang pengertian pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah :  Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Menurut Dani (2006: 11) pemilu merupakan sarana demokrasi untuk  membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancar ke bawah sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat dan untuk rakyat.  Pemilu sebagai alat demokrasi untuk menciptakan suatu pemerintahan yang refresentatif yang dijalankan secara jujur, bebas, bersih, kompetitif dan adil, berbeda dengan pemilu-pemilu yang dilaksanakan pada zaman orde baru. Pemilu pada zaman orde baru merupakan pemilu tipe pertama yaitu sebagai formalitas politik untuk melegalisasi pemerintahan Soeharto.  

Fungsi pemilu antara lain seperti yang diungkapkan oleh Sanit dalam Pito (2007: 307) yang mengklasifikasikan ada empat fungsi pemilihan umum, yaitu legitimasi politik, terciptanya perwakilan politik, sirkulasi elite politik dan pendidikan politik. Selain fungsi yang diungkapkan oleh Sanit, pemilu juga memiliki fungsi seperti yang diungkapkan oleh Croisant dalam Pito (2007: 306) yang menyatakan secara fungsional pemilu harus memenuhi tiga tuntutan yaitu : 

a. Pemilu harus mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih

b. Pemilu harus dapat mengintegrasikan rakyat

c. Keputusan, sistem pemilu harus menghasilkan mayoritas yang cukup besar guna menjamin stabilitas pemerintahan dan kemampuannya untuk memerintah (governabilitas).  

Pada sistem yang demokratis, tujuan dari pelaksanaan pemilu pun harus mencerminkan adanya kehendak dan patisipasi rakyat. Pemilihan Umum memiliki beberapa tujuan. Menurut Surbakti (1992: 181) ada tiga hal dalam tujuan pemilu, yaitu :   

a. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah dan alternatif kebijakan umum.

b. Pemilu juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat yang terpilih melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi tetap terjamin

c. Pemilu merupakan sarana memobilisasikan dan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintah dengan jalan ikut serta dalam proses politik. 

Pengaruh media sosial terhadap pemilu 2019 sangat berpengaruh. Berdasarkan data We Are Social dan Hootsuite (2018) disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia sebesar 132 juta orang. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa setengah atau lebih dari 50 persen penduduk Indonesia telah bisa mengakses internet. Pengguna media sosial mencapai 49% persen populasi pengguna internet di Indonesia. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa setengah atau lebih dari 50 persen penduduk Indonesia telah bisa mengakses internet. Pengguna media sosial mencapai 49% persen populasi pengguna internet di Indonesia. Dalam pertumbuhan pengguna media sosial sendiri, Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dengan tingkat pertumbuhan mencapai 23% atau 24 juta pengguna dalam satu tahun terakhir. Fakta dengan meningkatnya angka pengguna media sosial ini, pada akhirnya telah membawa persaingan baru bagi partai politik dan kandidat dalam Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Internet sebagai media yang murah, dan juga lebih mudah diakses daripada teknologi komunikasi lainnya, mereka dapat bersaing dengan partai-partai besar yang memiliki sumber daya lebih kuat. Media sosial memungkinkan partai politik kecil untuk menjangkau pendukung potensial serupa dengan partai besar. Media sosial dapat meningkatkan interaksi masyarakat dengan partai politik maupun kandidat. Masyarakat memiliki akses lebih untuk menyalurkan aspirasi kepada partai politik maupun kandidat yang di dukungnya. Pada saat yang sama, partai politik dan kandidat dapat mengkoordinasikan pendukung mereka dengan lebih mudah dan cepat untuk memobilisasi mereka misalnya pada saat kampanye.Sebagai adaptasi kelembagaan. Arti adaptasi kelembagaan yaitu adanya pergeseran bentuk aktifitas politik offline ke online.

Partai politik maupun kandidat dapat memanfaatkan media sosial dengan kampanye yang sama seperti dalam politik off-line. Melalui media sosial partai politik maupun kandidat dapat membuat strategi komunikasi lebih efektif. Selanjutnya berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai perilaku penggunaan Internet Indonesia tahun 2017. Berdasarkan hasil survei, wilayah dengan tingkat penggunaan internet tertinggi masih didominasi oleh wilayah Jawa. Jumlah pengguna internet di Jawa mencapai 58,08 persen dari total pengguna di Indonesia. Posisi kedua ditempati oleh wilayah Sumatra dengan jumlah pemakai internet mencapai 19,05 persen. Posisi ke-tiga ditempati oleh Kalimantan dengan jumlah pengguna 7,97 persen. Oleh karena itu, berdasarkan data diatas, dapat dikatakan pemanfaatan media sosial sebagai alat kampanye tidak dapat dilakukan di semua daerah, kecuali di daerah yang memiliki kesediaan infrastruktur internet yang baik, seperti di Pulau Jawa. Kedua, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye belum tentu berjalan efektif. J. Hands (2011) mengingatkan bahwa dengan memiliki teknologi seperti media sosial, tidak menjamin penggunaannya akan sesuai. Seringkali, media sosial hanya digunakan untuk mendukung cara kampanye politik yang lama, tetapi mengabaikan potensi sesungguhnya dari media sosial. Sehingga partai politik dan kandidat yang menggunakan media sosial sebagai alat kampanyenya pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019, tidak dapat memanfaatkan media sosial seperti dengan pendekatan media konvensional, yaitu dengan hanya komunikasi satu arah. Partai politik dan kandidat harus menggunakan media sosial dengan interaktif untuk memperkuat yang telah ada dalam media konvensional.

Strategi menggabungkan media sosial dengan media konvensional menjadikan komunikasi politik yang menarik dari partai dan kandidat.Oleh sebab itu, selain hanya sekedar memiliki website dan akun media sosial, partai politik dan kandidat seharusnya dapat menggunakan website dan media sosial tersebut secara interaktif, sehingga dapat mendekatkan dengan calon pemilih.

Dalam kampanye di media sosial kadangkala ada berita bohong yang menyudutkan salah satu pihak. Hoax ada sejak dulu dan berdampak luas salah satunya di konteks pemilu.  Hoax menurut KBBI adalah mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran.Menurut Werme (2016), mendefiniskan fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta  Publikasi hoax dengan frekuensi tinggi diprediksi akan berulang di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Karakter daerah dengan pengguna telepon pintar yang tinggi seperti DKI Jakarta akan menentukan besar pengaruh. Solusi berbagai pihak penting dilakukan untuk bisa menangkal hoax sekaligus tetap menjaga kebebasan sipil.

Sebab hoax menjadi bermasalah dan berdampak luas. Pertama, frekuensi suatu konten hoax begitu tinggi sehingga seolah-olah menjadi kebenaran. Kedua, rendahnya literasi masyarakat. Ketiga, aspek psikologis seperti persamaan ideologi, agama, afiliasi politik, pengguna media terhadap penyampai hoax. Keempat, makin tipisnya batas konseptual ruang publik dan ruang privat. Kelima, makin intim dan tingginya supply-demand. Keenam, rendahnya pengaruh media mainstream sebagai akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap media konvensional.

Cara meminimalisir hoax beragam cara dapat dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh pemerintah. Ada pasal yang mengatur tentang penyebar hoax Menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet bisa terancaman pidana pasal 310 dan 311 KUHP dan Undang-Undang ITE. Penyebaran konten hoax masih menjadi kekhawatiran banyak kalangan jelang pelaksanaan pilkada dan Pilpres 2019. Badan Intelijen Negara (BIN) akan meminimalisir penyebaran konten hoax di masyarakat. BIN akan melakukan kontra propaganda, seperti mengedukasi publik saat menghadapi berita bohong. BIN juga akan membangun opini positif publik. Selain itu kita dapat melakukan berbagai hal, diantaranya dengan memastikan berita itu benar atau salah. Lihat sumber berita yang memposting dan cek fakta di lapangan terlebih dahulu.

Penutup

Kesimpulan

            Politik bukan hanya mengenai pemilu. Tidak bijak jika makna dari politik di reduksi hanya mengenai pemilu. Hal ini menuntut kita untuk tidak terlalu fanatis dan mengorbankan apa saja untuk golongan yang di pilih.  

            Mudahnya koomunikasi di era 4.0 dan gelombang internet ke 3 membuat berita dan informasi mengalir dengan deras tiap hari, jam, bahkan ribuan tiap detik. Hal ini lebih menjadi tantangan daripada peluang. Idiom “bad news is good news” menjadi ayat yang diamini dan di pegang oleh tiap jurnalis untuk menulis tiap berita yang lebih menggiring public dan pembaca kearah kebencian, bahkan tidak sedikit yang menggunakan hoax sebagai bumbunya.

            Sebagai mahasiswa yang dibebani dengan prediket pemuda kritis dan intelektual, kita harus bersikap rasional dan mengedepankan kebenaran di banding pembenaran terhadap sesuatu yang menjadi tendensi kita. Hoax harus menjadi barang haram bagi mahasiswa. Sudah saatnya mahasiswa meninggalkan fanatismenya dan sudah waktunya untuk para mahasiswa untuk mengedukasi mengenai politik dan propaganda media kontra hoax.



Saran

            Hoax merupakan iklim, bukan kesalahan individu. Ekosistem yang di bentuk oleh semua organisme di dalamnya. Di ekosistem ini, organisme yang terlibat adalah pemerintah dan masyarakat. Masyarkat disini pun terdiri dari berbagi kalangan.

            Untuk menghapus ekosistem hoax, yang harus di rubah bukan cuma satu kalangan. Tetapi semua kalangan yang berada di ekosistem. Pemerintah harus lebih jujur dan harus berhenti membohongi rakyatnya dengan berbagai retorika. Masyarakatpun juga harus lebih cerdas, jujur, dan rasional dalam mengolah dan menyebarkan informasi.

            Dengan komitmen dan usaha untuk menghapus ekosistem hoax di tiap kalangan. Ekosistem hoax perlahan akan menghilang dan akan berganti dengan iklim rasional. Hal ini tentu menjadi angin segar untuk membawa Indoneia khususnya politik Indoneia keaarah yang lebih beradab.



Referensi


https://www.theindonesianinstitute.com/media-sosial-pilkada-serentak-dan-pemilu-2019/.









No comments:

Post a Comment