PEMILU
2019 DAN PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL
Oleh:
M.
Ramadhani Arafat
Kuni
Qurota ‘Aini
Jadid
Purwaka Aji
Penulisan
artikel ilmiah ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh hoax di media sosial
terhadap kepercayaan masyarakat Indonesia. Adapun latar belakang tulisan ini
karena Indonesia pada tahun 2019 memasuki tahun politik. Kampanye yang semakin
gencar dilakukan sebagai pengaruh dari keinginan untuk dipilih. Namun sayangnya
kampanye bermacam-macam cara salah satunya dengan media sosial. Media sosial efektif
sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran berbagai ide, termasuk isi kampanye media
sosial, berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. Di Twitter, misalnya,
hanya dengan men-twit, informasi tersebar luas ke seluruh follower, begitu
seterusnya dengan cara kerja seperti multi-level marketing. Efektivitas media
sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif. Karakteristik media sosial
sendiri juga merupakan kekuatan. Media sosial adalah sarana untuk komunikasi di
mana setiap individu saling memengaruhi. Setiap orang memiliki pengaruh ke
sekelilingnya. Dengan demikian semua orang bebas dalam memberikan pandangan
politik. Beredarnya berita bohong atau hoax juga semakin banyak dalam media
sosial. Hal tersebut berpengaruh negatif, karena dapat menyebabkan persetuan,
mudah di adu domba , serta kekacauan politik. Hal tersebut membuat kami ingin
mengulas dampak media sosial dalam pemilu 2019 yang memiliki dampak yang besar
ini.
Pendahuluan
Latar
Belakang
Politik
merupakan jalan pintas menuju sebuah kekuasaan. Karena setiap orang yang ingin
menduduki sebuah jabatan pasti mengenal politik. Politik adalah seni dan ilmu
meraih kekuasaan konstitusional maupun non konstitusiona. Di samping itu
politik dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan dalam suatu negara.
Jalannya
perpolitikan di Indonesia berjalan secara dinamis dan selalu ada hal baru.
Peran partai politik tidak hanya sebagai saluran aspirasi masyarakat. Tetapi
sebagai jalan dalam legislatif. Presiden sebelum menjabat sebagai presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik yang harus
memperoleh sekurang-kurangnya 5 % suara secara normal atau 3 % kursi Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pada tahun 2019
ini calon presiden ada 2 yaitu Joko Widodo dan Prabowo. Mereka diangkat menjadi
calon presidenoleh partai-partai yang mengusungnya. Saat ini dalam masa
kampanye calon presiden di Indonesia. Banyak hal yang dilakukan oleh
masing-masing calon prwesiden maupun tim suksesnya.
Berbagai cara
kampanye yang dilakukan oleh calon presiden maupun para pendukungnya. Antara
lain blusukan, mendatangi wilayah tertentu dan sebagainya. Beragam kampanye dilakukan. Ada yang
berkampanye secara langsung maupun secara tak langsung. Secara langsung
misalkan mengadakan konser music, pidato, blusukan, mendatagi wilayah tertentu
maupun secara tidak langsung dengan media sosial.
Pada masa ini
media sosial cenderung diminati karena pengaruhnya yang luar biasa efektifnya.
Jika kampanye langsung hanya orang – orang yang hadir saja yang dapat melihat.
Media sosial dapat dilihat oleh semua orang.
Saat ini media
sosial terdapat kampanye yang bersih dan kampanye kotor. Tak jarang pula
terdapat hoax yang meresahkan masyarakat. Kaitannyadengan pemilu, hoax
dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik.
Pengaruhnya
sangat besar bagi panggung politik di Indonesia. Masyarakat dengan mudah
percaya dengan hal yang berbau hoax dan kemudian saling menjadi korban adu
domba. Seharusnya kita memilah dan memilih mana yang hoax dan mana yang
benar-benar berita. Agar pemilu 2019 damai dan lancar.
Identifikasi
Masalah
Dari latar
belakang yang ditulis, kami memberikan identifikasi masalah yang akan dijadikan
bahan sebagai berikut:
·
Maraknya kasus hoax yang terjadi akhir-akhir ini,
·
Pengaruh hoax terhadap pandangan masyarakat kepada calon
presiden.
·
Ada banyak jalur lain untuk menaikkan nama calon presiden
tanpa hoax, agar Indonesia lebih beradap dan maju.
Rumusan
Masalah
·
Seberapa pengaruhkah media sosial dalam pemilu 2019?
·
Bagaimana hubungan hoax terhadap pemilu 2019?
·
Bagaimana cara menciptakan pemilu yang bersih dari hoax?
Manfaat
Manfaat teoritis:
1.
Bagi calon presiden dan tim sukses, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas daripada kampanye semata.
2.
Bagi masyarakat,
diharapkan media sosial berperan aktif dalam penyebaran konten-konten
positif pemilu, bukan sebaliknya.
Manfaat praktis:
Meningkatkan pengetahuan masyarakat
dalam bermedia sosial yang baik dan cerdas.
Teori
Permana dalam
Pradhanawati (2005: 85) kata kunci dari pemilu langsung oleh rakyat adalah “kedaulatan
rakyat”. Dengan demikian, reputasi demokrasi
tidak diragukan lagi adalah pemaknaan yang sesungguhnya dari kedaulatan rakyat
itu sendiri.
Schumpeter dalam
Sorensen (2003: 14) merumuskan pengertian demokrasi secara sederhana merupakan
sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga
negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin pemimpin
politik yang bersaing meraih suara. Pengertian demokrasi menunjukan bahwa
keikutsertaan rakyat merupakan kunci utama dalam menjalankan sistem
pemerintahan yang demokrasi. Keikutsertaan rakyat dalam sistem pemerintahan
bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat itu sendiri maupun melalui
perwakilan hal tersebut dapat terwujud dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum di
Negara Indonesia.
Mayo dalam Kristiadi (2006: 117)
memberikan definisi demokrasi sebagai berikut :
Sistem politik
yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Di Indonesia, berdasarkan data We Are
Social dan Hootsuite (2018) disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia
sebesar 132 juta orang.
Isi
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pemilihan umum (Pemilu) menurut Haris (2006: 10) merupakan salah satu bentuk
pendidikan politik bagi rakyat, yang bersifat langsung, terbuka, masal, yang
diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai demokrasi. Pasal 1
ayat (1) UU No. 11 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilihan umum disebutkan
dan dijelaskan tentang pengertian pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu,
adalah : Sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Dani (2006: 11) pemilu
merupakan sarana demokrasi untuk membentuk
sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak
rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancar ke bawah
sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat dan untuk
rakyat. Pemilu sebagai alat demokrasi
untuk menciptakan suatu pemerintahan yang refresentatif yang dijalankan secara
jujur, bebas, bersih, kompetitif dan adil, berbeda dengan pemilu-pemilu yang
dilaksanakan pada zaman orde baru. Pemilu pada zaman orde baru merupakan pemilu
tipe pertama yaitu sebagai formalitas politik untuk melegalisasi pemerintahan
Soeharto.
Fungsi pemilu antara lain seperti yang
diungkapkan oleh Sanit dalam Pito (2007: 307) yang mengklasifikasikan ada empat
fungsi pemilihan umum, yaitu legitimasi politik, terciptanya perwakilan politik,
sirkulasi elite politik dan pendidikan politik. Selain fungsi yang diungkapkan
oleh Sanit, pemilu juga memiliki fungsi seperti yang diungkapkan oleh Croisant
dalam Pito (2007: 306) yang menyatakan secara fungsional pemilu harus memenuhi
tiga tuntutan yaitu :
a.
Pemilu harus mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih
b.
Pemilu harus dapat mengintegrasikan rakyat
c.
Keputusan, sistem pemilu harus menghasilkan mayoritas yang cukup besar guna
menjamin stabilitas pemerintahan dan kemampuannya untuk memerintah
(governabilitas).
Pada sistem yang demokratis, tujuan
dari pelaksanaan pemilu pun harus mencerminkan adanya kehendak dan patisipasi
rakyat. Pemilihan Umum memiliki beberapa tujuan. Menurut Surbakti (1992: 181)
ada tiga hal dalam tujuan pemilu, yaitu :
a.
Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah dan alternatif
kebijakan umum.
b.
Pemilu juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan
dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat yang terpilih melalui
partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi tetap terjamin
c.
Pemilu merupakan sarana memobilisasikan dan atau menggalang dukungan rakyat
terhadap negara dan pemerintah dengan jalan ikut serta dalam proses
politik.
Pengaruh
media sosial terhadap pemilu 2019 sangat berpengaruh. Berdasarkan data We Are
Social dan Hootsuite (2018) disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia
sebesar 132 juta orang. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa setengah atau lebih
dari 50 persen penduduk Indonesia telah bisa mengakses internet. Pengguna media
sosial mencapai 49% persen populasi pengguna internet di Indonesia. Jumlah
tersebut menunjukkan bahwa setengah atau lebih dari 50 persen penduduk
Indonesia telah bisa mengakses internet. Pengguna media sosial mencapai 49%
persen populasi pengguna internet di Indonesia. Dalam pertumbuhan pengguna
media sosial sendiri, Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dengan tingkat
pertumbuhan mencapai 23% atau 24 juta pengguna dalam satu tahun terakhir. Fakta
dengan meningkatnya angka pengguna media sosial ini, pada akhirnya telah
membawa persaingan baru bagi partai politik dan kandidat dalam Pilkada serentak
2018 dan Pemilu 2019. Internet sebagai media yang murah, dan juga lebih mudah
diakses daripada teknologi komunikasi lainnya, mereka dapat bersaing dengan
partai-partai besar yang memiliki sumber daya lebih kuat. Media sosial memungkinkan
partai politik kecil untuk menjangkau pendukung potensial serupa dengan partai
besar. Media sosial dapat meningkatkan interaksi masyarakat dengan partai
politik maupun kandidat. Masyarakat memiliki akses lebih untuk menyalurkan
aspirasi kepada partai politik maupun kandidat yang di dukungnya. Pada saat
yang sama, partai politik dan kandidat dapat mengkoordinasikan pendukung mereka
dengan lebih mudah dan cepat untuk memobilisasi mereka misalnya pada saat
kampanye.Sebagai adaptasi kelembagaan. Arti adaptasi kelembagaan yaitu adanya
pergeseran bentuk aktifitas politik offline ke online.
Partai
politik maupun kandidat dapat memanfaatkan media sosial dengan kampanye yang
sama seperti dalam politik off-line.
Melalui media sosial partai politik maupun kandidat dapat membuat strategi
komunikasi lebih efektif. Selanjutnya berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai perilaku penggunaan Internet Indonesia
tahun 2017. Berdasarkan hasil survei, wilayah dengan tingkat penggunaan
internet tertinggi masih didominasi oleh wilayah Jawa. Jumlah pengguna internet
di Jawa mencapai 58,08 persen dari total pengguna di Indonesia. Posisi kedua
ditempati oleh wilayah Sumatra dengan jumlah pemakai internet mencapai 19,05
persen. Posisi ke-tiga ditempati oleh Kalimantan dengan jumlah pengguna 7,97
persen. Oleh karena itu, berdasarkan data diatas, dapat dikatakan pemanfaatan
media sosial sebagai alat kampanye tidak dapat dilakukan di semua daerah,
kecuali di daerah yang memiliki kesediaan infrastruktur internet yang baik,
seperti di Pulau Jawa. Kedua, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye
belum tentu berjalan efektif. J. Hands (2011) mengingatkan bahwa dengan
memiliki teknologi seperti media sosial, tidak menjamin penggunaannya akan sesuai.
Seringkali, media sosial hanya digunakan untuk mendukung cara kampanye politik
yang lama, tetapi mengabaikan potensi sesungguhnya dari media sosial. Sehingga
partai politik dan kandidat yang menggunakan media sosial sebagai alat
kampanyenya pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019, tidak dapat
memanfaatkan media sosial seperti dengan pendekatan media konvensional, yaitu
dengan hanya komunikasi satu arah. Partai politik dan kandidat harus
menggunakan media sosial dengan interaktif untuk memperkuat yang telah ada
dalam media konvensional.
Strategi
menggabungkan media sosial dengan media konvensional menjadikan komunikasi
politik yang menarik dari partai dan kandidat.Oleh sebab itu, selain hanya
sekedar memiliki website dan akun media sosial, partai politik dan kandidat
seharusnya dapat menggunakan website dan media sosial tersebut secara
interaktif, sehingga dapat mendekatkan dengan calon pemilih.
Dalam
kampanye di media sosial kadangkala ada berita bohong yang menyudutkan salah
satu pihak. Hoax ada sejak dulu dan berdampak luas salah satunya di konteks
pemilu. Hoax menurut KBBI adalah
mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Menurut Silverman
(2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja
disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran.Menurut Werme (2016),
mendefiniskan fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang
sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan
sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news
juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai
serangkaian fakta Publikasi hoax dengan
frekuensi tinggi diprediksi akan berulang di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Karakter daerah dengan pengguna telepon pintar yang tinggi seperti DKI Jakarta
akan menentukan besar pengaruh. Solusi berbagai pihak penting dilakukan untuk
bisa menangkal hoax sekaligus tetap menjaga kebebasan sipil.
Sebab
hoax menjadi bermasalah dan berdampak luas. Pertama, frekuensi suatu konten
hoax begitu tinggi sehingga seolah-olah menjadi kebenaran. Kedua, rendahnya
literasi masyarakat. Ketiga, aspek psikologis seperti persamaan ideologi,
agama, afiliasi politik, pengguna media terhadap penyampai hoax. Keempat, makin
tipisnya batas konseptual ruang publik dan ruang privat. Kelima, makin intim
dan tingginya supply-demand.
Keenam, rendahnya pengaruh media mainstream sebagai akibat turunnya kepercayaan
masyarakat terhadap media konvensional.
Cara
meminimalisir hoax beragam cara dapat dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh
pemerintah. Ada pasal yang mengatur tentang penyebar hoax Menyebarkan
atau memberikan informasi buruk di internet bisa terancaman pidana pasal 310
dan 311 KUHP dan Undang-Undang ITE. Penyebaran
konten hoax
masih menjadi kekhawatiran banyak kalangan jelang pelaksanaan pilkada dan
Pilpres 2019. Badan Intelijen Negara (BIN) akan meminimalisir penyebaran konten
hoax di
masyarakat. BIN akan melakukan kontra propaganda, seperti mengedukasi publik
saat menghadapi berita bohong. BIN juga akan membangun opini positif publik.
Selain itu kita dapat melakukan berbagai hal, diantaranya dengan memastikan
berita itu benar atau salah. Lihat sumber berita yang memposting dan cek fakta
di lapangan terlebih dahulu.
Penutup
Kesimpulan
Politik bukan hanya mengenai pemilu.
Tidak bijak jika makna dari politik di reduksi hanya mengenai pemilu. Hal ini
menuntut kita untuk tidak terlalu fanatis dan mengorbankan apa saja untuk
golongan yang di pilih.
Mudahnya koomunikasi di era 4.0 dan
gelombang internet ke 3 membuat berita dan informasi mengalir dengan deras tiap
hari, jam, bahkan ribuan tiap detik. Hal ini lebih menjadi tantangan daripada
peluang. Idiom “bad news is good news” menjadi ayat yang diamini dan di pegang
oleh tiap jurnalis untuk menulis tiap berita yang lebih menggiring public dan
pembaca kearah kebencian, bahkan tidak sedikit yang menggunakan hoax sebagai
bumbunya.
Sebagai mahasiswa yang dibebani
dengan prediket pemuda kritis dan intelektual, kita harus bersikap rasional dan
mengedepankan kebenaran di banding pembenaran terhadap sesuatu yang menjadi
tendensi kita. Hoax harus menjadi barang haram bagi mahasiswa. Sudah saatnya
mahasiswa meninggalkan fanatismenya dan sudah waktunya untuk para mahasiswa
untuk mengedukasi mengenai politik dan propaganda media kontra hoax.
Saran
Hoax
merupakan iklim, bukan kesalahan individu. Ekosistem yang di bentuk oleh semua
organisme di dalamnya. Di ekosistem ini, organisme yang terlibat adalah
pemerintah dan masyarakat. Masyarkat disini pun terdiri dari berbagi kalangan.
Untuk
menghapus ekosistem hoax, yang harus di rubah bukan cuma satu kalangan. Tetapi
semua kalangan yang berada di ekosistem. Pemerintah harus lebih jujur dan harus
berhenti membohongi rakyatnya dengan berbagai retorika. Masyarakatpun juga harus
lebih cerdas, jujur, dan rasional dalam mengolah dan menyebarkan informasi.
Dengan
komitmen dan usaha untuk menghapus ekosistem hoax di tiap kalangan. Ekosistem
hoax perlahan akan menghilang dan akan berganti dengan iklim rasional. Hal ini
tentu menjadi angin segar untuk membawa Indoneia khususnya politik Indoneia keaarah
yang lebih beradab.
Referensi
https://www.theindonesianinstitute.com/media-sosial-pilkada-serentak-dan-pemilu-2019/.